Sebelumnya aku mempunyai rencana setelah menginap 1 malam di Pokhara, keesokan harinya aku ingin melanjutkan perjalanan ke Mukhtinath. Tapi setelah bertanya kepada David, dan mengetahui bahwa pada musim ini pergi ke Mukhtinath agak sulit, biaya perjalanan yang mahal, serta memerlukan ijin masuk ke Annapurna Conservation Area dengan biaya US$ 45 per orang. Aku mengurungkan niatku itu. Jujur, di hari ketigaku di Pokhara aku tidak ada rencana ingin pergi kemana. Dengan segala kegamangan yang ada (hmmm… udah mulai kaya penyair) aku memutuskan untuk mencari sarapan saja. Keluar penginapan dan berjalan menyusuri Pewa Lake Side, aku menemukan sebuah coffee shop di pinggir jalan. Aku memesan 1 cappucino dan 1 porsi momo( Momo adalah makanan khas Nepal yang terlihat seperti dimsum serta isian daging ayam, sapi, atau hanya sayur-sayuran untuk vegetarian). Ini adalah momo pertamaku semenjak di Nepal. Aku sangat penasaran dengan isinya.
Menunggu selama kurang lebih 10 menit akhirnya momo-ku diantar oleh mas-mas penjaga coffee shop ini. Aku mencicipi momo ku dan mulai memutuskan bahwa ini adalah momo pertama dan terakhirku (menurutku rasa momo ini sangat kental dengan rasa kari, aku tidak tau bumbu apa yang dipakai di Nepal yang membuat semua masakan menurutku rasanya mirip satu sama lain). Dengan melanjutkan meminum kopi serta merenungi rencanaku hari ini yang aku sendiri tidak tau apa rencana itu, si pelayan toko menghampiriku. Namanya Suman. Dia adalah mahasiswa pariwisata di Pokhara. Di coffee shop ini dia bekerja part time setiap pagi. Suman menanyakan apakah aku ada rencana hari ini. Dengan pasrah aku menjawab “I don’t know where to go”. Seketika teman baruku ini mengambil sebuah buku dan brosur pariwisata di Pokhara dan menunjukkan tempat-tempat yang bisa aku jangkau dengan jalan kaki serta menggambarkan peta seadanya agar aku tidak tersesat di jalan.
Sumon menyarankan aku untuk pergi ke Devi’s Fall yang menurutnya jarak dari Pewa Lake Side ke Devi’s Fall bisa di jangkau dengan jalan kaki. Selain Devi’s Fall, dia juga menyarankan aku untuk pergi ke sebuah gua yang memiliki air terjun bawah tanah di dalamnya serta ke Peace Pagoda. Dari peta yang dia gambarkan, letak tempat-tempat wisata ini tidak jauh dan dia juga meyakinkan bahwa semua ini bisa dijangkau dengan jalan kaki.
Si Suman yang lagi jelasin jalan ke Devi’s Fall
Ini adalah Momo Pertama………….dan terakhir
Setelah meyakinkan diri pada peta yang dibuat Suman, aku menuju ke tempat rental sepeda di dekat coffee shop. Aku memang berencana untuk menyewa sepeda hari ini, meskipun tidak punya tujuan sama sekali. Aku menyewa sepeda gunung dengan harga NRS500 (sekitar Rp. 54 ribu) untuk sehari, dari jam 9 pagi sampai jam 6 sore. Setelah menyewa sepeda ini, aku mengayuh sepeda untuk menyusuri seluruh jalanan Pewa Lake Side. Di sepanjang perjalananku menggowes sepeda,ada anak kecil berusia sekitar 8 tahun yang selalu berlari mengejar sepedaku. Ketika aku berhenti di sebuah kuil tepat di tepian Pewa Lake, anak kecil ini ikut masuk ke kuil tersebut dan terus membuntutiku. Dengan iseng aku bertanya “Do you speak English?” and he said “yes”. Anak kecil ini langsung menceritakan kesehariannya dalam bahasa Inggris dengan lancar. He was an awesome English speaker. Lalu setelah seluruh ceritanya, aku mengajak dia berfoto bersama di kuil tersebut. Dan tanpa diduga anak kecil ini berkata “ One hundred please”. Haaaaahhhh…. (Kamera shooting close up ke muka penuh keringat), ternyata anak kecil ini sudah memiliki motif ekonomi dibalik keimutannya). Dan dengan semangat ingin mengajari anak ini tentang kerasnya kehidupan dan agar dia tidak meminta uang ke orang lagi, aku bilang “ I don’t have money, Aku aja belum sarapan” (Sebenarnya ini ungkapan dari hati yang terdalam, karena aku memang gak punya uang ekstra. Sudah habis untuk menyewa sepeda. Hehehe…). Dia hanya tersenyum getir dan terus mengikutiku ketika aku melanjutkan gowesku.
Setelah sekitar 1km gowes, anak kecil ini tidak lagi mengikutiku. Mungkin dia sudah lelah. Dalam perjalananku yang tanpa tujuan ini, aku melihat kerumunan orang masuk ke sebuah jalan. Ternyata sedang ada acara “Pokhara Street Festival” yang diselenggarakan di tepi Danau Pewa. Dengan jiwa traveler gilaku, aku berniat untuk melihat festival ini, tapi kalau GRATIS. Hehehe…Baru sampai di depan gatenya, niatku sudah diciutkan dengan harga tiket masuk untuk foreigner yang terlampau mahal. Karena niatku untuk wisata gratisan gagal, aku menghibur diriku dengan membeli kembang gula berwarna merah muda seharga NRS50 (sekitar Rp.6 ribu) yang dijajakan anak kecil di depan tempat festival ini.
The Fluent English Speaker asked for NRS 100
Makan kembang gula 5 ribuan.. yummy…
Aku memutuskan untuk menuju tempat wisata yang disarankan oleh Suman. Dia bilang “ tinggal lurus, memutari Mustang Chowk belok kanan, sampai di bank belok kanan, nyampe!” It seems so near, until The Fire Kingdom attacked! Terus gowe, gowes lagi, gowes lagi, aku sampai di Mustang Chowk(Chowk= nepali word means persimpangan). Belok kanan, belok kanan kedua, dan nyasar! Kukeluarkan hp ku sebagai andalah untuk mencari tempat baru. Benar, aku memang nyasar, salah belokan. Aku memutar menuju belok kanan di jalan kebenaran. Hahaha. Memastikan bahwa tujuanku sudah benar dan tinggal lurus, aku menggowes, gowes lagi, lagi, lagi dan kutemui kerumunan orang mengantri, mengular. Aku menanyakan pada polisi ada acara apa, dia bilang sedang ada kegiatan imunisasi dan bangunan pink lucu dan ramai ini adalah semacam posyandu di Indonesia. Setelah sedikit berfoto-foto (OK, banyak foto!), aku kembali menggowes, gowes, gowes, gowes dan kujumpai acara pernikahan khas Nepal. Aku ingin masuk, tapi takut tidak sopan karena bukan undangan dan aku tidak pake Sari! Setelah melihat lihat di depannya saja, aku gowes lagi,lagi, gowes, gowes. Eh! Aku sudah gowes berapa lama ya? Aku cek di maps kesayanganku, sudah setengah jam jalan dan sudah jauh tapi aku tak sampai juga, si Devi’s Falls yang Suman bilang dekat, belum tampak hidungnya.
Sim salabim… HP Hp.. tunjukkan dimana Devi’s Fall
Ayo kita ke Posyandu!
Merah merah delima… Cantik memikat mata
Dengan kelelahan, kehausan , dan karena sudah “kentang” setengah jalan, aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sekitar 20 menit gowes gowes, aku melihat kerumunan.Rasa bahagia membuncah dihati (mulai lebay lagi) HAH… DEVI’S FALLS!!!!! I made it!!!! Setelah berfoto dan melihat sekeliling serta menemukan pintu masuk ke gua Gupteshwor Mahadev tepat di sebering pintu masuk Devi’s Fall, aku memutuskan untuk masuk ke gua saja (Karena faktor gerbang masuk yang lebih Nepal banget). Di depan pintu masuk ada 2 orang lansia yang duduk dan menangis meminta uang belas kasihan, just like in Indonesia. Masuk ke dalam gerbang, di samping kiri kanan gang masuk ada banyak penjual cinderamata khas Nepal, mirip di Indonesia. Sesampainya di loket penjualan tiket masuk di Cave ini, aku bingung dimana harus meletakkan sepeda ku. Tengok kanan kiri lalu ada seorang nenek yang melambai-lambai menyuruh aku untuk mengunci sepeda di pagar toko. Setelah ijin ke si pemilik toko dan mengunci sepeda, aku segera pergi ke loket penjualan tiket. Harga tiket untuk wisatawan mancanegara adalah NRS100 (sekitar Rp. 11 ribu) sedangkan harga tiket untuk warga lokal adalah NRS 50. Perbedaan harga tiket ini bisa kita lihat dari print out tiket yang diberikan, sangat berbeda!
Untuk memasuki gua, kita harus menuruni anak tangga yang melingkar. Dari sini, kita bisa melihat bahwa pembangunan tempat wisata ini belum rampung 100%. Meskipun begitu, gua ini tetap ramai dikunjungi para peziarah. Karena selain tempat wisata, sebenarnya di dalam gua ini ada sebuah kuil untuk sembahyang. Masuk ke pintu gua, udara sudah terasa sedikit pengap dan suasana mulai gelap karena penerangan yang seadanya. Baru masuk sekitar 20 anak tangga, di depan mata sudah tersuguh sebuah kuil nan indah dengan lonceng doa yang berjajar di depannya serta bergemerincing dengan merdunya karena dibunyikan oleh para peziarah. Sayangnya, kami tidak diijinkan mengambil foto di kuil ini.
Setelah melewati kuil, jalan mulai bercabang dua, hem… aku memilih ke kiri terlebih dulu dan mengikuti orang di depanku. Jalanan mulai menyempit sampai aku menunduk, aku mulai khawatir dan gelisah. Nih makan Snick*r biar ga gelisah! Kembali ke pokok bahasan, aku memutuskan untuk mundur dari lorong ini, karena yang ada di depan sepertinya seorang holyman yang memberi doa kepada para peziarah. Kembali ke titik awal setelah kuil, aku mengambil jalan di sebelah kanan, lorong gua disini juga mulai sempit. Kepalaku kejedot berkali-kali ke langit-langit gua, sudah tak terhitung lagi berapa benjolan yang ada di kepalaku. Berjalan pelan pelan dan harus berhenti saat ada peziarah dari arah lain sudah menjadi hal yang lumrah dilakukan untuk memasuki gua ini.
Aku sampai di ujung lorong gua dengan langit langit yang tinggi, di bawah terlihat kerumunan orang-orang yang ramai berfoto ria. Aku menuruni tangga besi yang sudah mulai keropos dan dengan tali pengaman seadanya. Dengan kondisi di dalam gua yang lembab, aku bisa saja jatuh ke dasar gua berbatu kalau tidak berhati-hati melewatinya. Sesampainya dibawah, aku tidak bisa melihat apa apa karena banyaknya kerumunan orang. Setelah orang-orang itu mulai pergi satu per satu, aku mulai bisa melihat keindahan air terjun di dalam gua ini. Air terjun ini begitu indah, dengan kondisi gua yang gelap dan cahaya matahari yang masuk melewati air terjun ini. Semua terlihat sangat ajaib. Sekali lagi, terima kasih ya Allah. Kau mengijinkanku untuk melihat keajaibanmu, sekali lagi. Sayangnya karena kameraku yang kurang memadai, hasil foto yang aku hasilkan kurang jelas. Bukan karena kameranya sih, tapi karena yang pakenya :D.
Ditengah perjalanan untuk kembali ke mulut gua, aku melihat tumpukan batu yang indah. Aku tidak tau apakah batu- batu ini ada kaitannya dengan ibadah. Tapi karena aku mulai gelisah berada di tempat ini, maka aku melanjutkan perjalananku dan menghiraukan ajakan wisatawan lain untuk menumpuk batu di tempat tersebut. Sesampainya di mulut gua, aku bersyukur sekali lagi, masih diijinkan hidup sampai hari ini. Udara terasa begitu segar dan cahaya matahari terasa begitu menenangkan.
Akhirnya ketemu juga gerbang masuknya
Eh… tapi gerbang yang ini kayaknya lebih menarik…
Tapi kok belum masuk udah serem ya… gelap bangeet…
Tangga mengular menuju ke dalam gua
Sudah tak terhitung berapa kali kejedot.. Kepala rasanya udah muter muter.
Pembangunan Jalan masuk ke gua ini belum rampung
Eh.. nih pada ngumpul foto foto. Motoin apa sih?
Inilah air terjunnya.. maaf fotografernya amatiran… 🙁
Batu batu nya keren… Tapi suasananya…..?
Perbedaan tiket masuk untuk turis asing dan turis lokal.. Jauuuuuuuuuhhhh….
Di jalan keluar gua, ada patung ganesha dengan sesajian di sekitarnya. Feels in Nepal completely. Karena sangat lelah setelah menyusuri gua, aku membeli soda di toko tempat aku menitipkan sepeda. Dan sekali lagi, selalu, hasrat pipisku tak tertahankan. Bertanya pada sang pemilik toko, dia menunjukkan ada toilet di dekat pintu masuk gua.. Dengan bahagia serta berbekal tisu untuk jaga jaga, takut kondisi seperti di toilet pom bensin yang aku ceritakan di cerita sebelumnya, aku menuju ke toilet dimaksud. Benar saja, toilet ini terabaikan. Tidak ada air, bau menyengat, dan Pup manusia dimana-mana. Tuhaaaaannnnnnn…. Tolong aku. Dengan berat hati, dan hasrat tak tertahan, dengan terpaksa aku…….sensored (I wont say it).
Setelah keluar dari toilet, aku membersihkan tanganku dengan air minum serta hand sanitizer yang kubawa. Setelah itu, aku segera bergowes lagi untuk menuju secepatnya ke penginapan dan mensucikan diri! Dalam perjalanan ke penginapan, aku melihat ada satu lagi pernikahan dan mobil berhias bunga bunga khas Nepal menghiasinya. Hari ini sepertinya adalah hari baik bagi orang Nepal.
Sesampainya di penginapan, aku segera mengunci sepedaku di halaman dan menuju ke kamar untuk mandi sebersih-bersihnya. Jam masih menunjukkan pukul 4 sore. Aku masih punya waktu untuk menggunakan sepeda ini mengelilingi pokhara. Melihat rutinitas warga lokal adalah kegemaranku. Disini aku melihat ada beberapa Sekolah Bahasa Inggris (sasaran ekonomi utama Nepal sepertinya adalah wisata, sehingga banyak remaja yang mengambil kelas pariwisata atau bahasa inggris) serta sekolah SMP/SMA berbentuk asrama.
Enlightment
Seorang anak kecil berpose seperti Ganesha dan difoto oleh semua anggota keluarganya… Berasa artis ya dek? Hihi
Minum dulu… Biar mata segeran.. Abis liat big sh*t >.<
Perjalanan pulang ketemu Optimus Prime versi Nepal
Ngisi bahan bakar dulu kita. Iya, saya minum petrol.
S&K? Saya dan Kamu? Iya, saya memang sayang kamu.. So sweet…
Dikunci dulu, biar mereka gak lari kemana mana
Asrama pelajar di Nepal
kalo mau kuliah di Cambridge, sekolah dulu disini
Our motto education for skill development
Tepat pukul 6 aku mengembalikan sepeda ini ke tempat rentalnya. Setelah itu aku berjalan lagi ke toko Meera untuk menanyakan biaya ke Sarangkot. Meera mengatakan biayanya sekitar NRS 1000-1200 (sekitar Rp. 120-140 ribu). Aku masih bimbang dan kembali ke hotel. Beristirahat sekitar 30 menit sambil berbaring, bumi gonjang ganjing langit kelop kelop! tiba tiba aku merasakan gempa yang sangat dahsyat. Dalam kepanikan, aku berlari membabi buta. HAAAAA!!!!!!! Apa ini??? Gempa?? Di Nepal??? Dalam kepanikanku, David si penjaga penginapan dan temannya menghampiriku. Dan anehnya dia hanya senyum senyum saja menanggapi aku yang menggila. Dia bercerita bahwa gempa ini tidak berbahaya dan hanya terjadi 60 tahunan. Semua orang disini terlihat biasa saja dan melanjutkan kegiatan mereka, malah mereka tampak lebih excited daripada shock. What??
Untuk meredakan jantungku yang masih loncat-loncatan, aku kembali ke kamar dan memutuskan untuk menenangkan diri dengan berjalan jalan menuju toko Meera. Meera pun bercerita kenapa dia suka menolong orang. Alkisah, dulu Meera pernah menjadi tenaga kerja di Israel. Suatu akhir pekan, Meera memutuskan untuk berlibur ke sebuah pantai di Israel. Malam harinya dia ingin kembali ke rumah majikannya, tapi dia lupa dan tak tau arah. Dalam kebimbangan, Meera mengangis di pinggir jalan selama beberapa jam. Saat itulah ada seorang laki-laki yang menawarkan bantuan padanya dan mengantarnya pulang ke rumah majikannya dengan selamat. Sejak itu Meera berjanji untuk menolong orang yang kesusahan tanpa pamrih. Dia selalu bertanya “Do you need some help?” kepada orang yang terlihat kebingungan, dimanapun, kapanpun dan tanpa meminta apapun.
Setelah Meera menenangkanku, dia bertanya apa aku masih ingin ke Sarangkot. Aku pun mengiyakan pertanyaannya. Dengan sigap dia mengambil handphonenya dan meminta keponakannya, Suraj untuk mencarikan taxi yang akan mengantarku ke Sarangkot dengan harga maksimal NRS1200. Setelah berterima kasih kepada Meera (Meera benar benar tidak meminta imbalan apapun), aku menuju ke minimarket untuk membeli ramen instan dan cola. Sesampainya di penginapan, aku meminta air panas ke David dan berjanji akan memasak air sendiri serta hanya meminjam kompor dan panci. Dia mengiyakan.
Di dapur, aku kebingungan menyalakan kompor dan david menghampiriku. “See! You’re confused! I know” katanya. Aku hanya menyengir saja dan dia membantuku memasak air panas. Karena dia terlihat sangat dingin, aku memberanikan diri sok akrab dengan bercerita tentang perjalananku ke Nepal. Tanpa diduga, dia mulai bercerita tentang kehidupannya. Ternyata dia adalah seorang mahasiswa Bahasa Inggris yang bekerja sepanjang tahun di penginapan ini. Paruh waktu saat perkuliahan aktif dan full time (24 jam) saat liburan. Dia bekerja keras untuk biaya kuliahnya. Benar-benar pemuda yang mandiri di usianya yg masih 19 tahun. Setelah berbincang cukup lama dengan David serta berterima kasih, aku kembali ke kamar untuk makan ramen kecintaanku serta tidur pulas setelah hari yang panjang serta melelahkan ini. Selamat malam Pokhara. See you very soon, Sarangkot.
Dan ini adalah sahabat baruku, Meera Poudel
Ikutan pose kaya adek kecil tadi ah… Eh, kok gak ada yang motoin?
Amunisi perjalanan di Pokhara
Salam ke Optimus Prime 🙂 Seruuu nih keliling phokara pakai sepeda, Btw nggak bisa ditawar lagi ya sewa sepedanya ? *kekepindompet
Hai kak Zulfa. Itu udah nawar gila-gilaan. Yang nyewain sepeda sampe malu kak. Ntar coba aja ditawar lagi kak, kali aja dapet separo harga. Hahaha. Salam Himalaya!