Besok perjalanan panjang akan dimulai. Cuti sudah diambil, backpack sudah dikemas. Aku kelimpungan gak bisa tidur karena harus ke bandara dini hari, takut ketiduran dan ketinggalan pesawat. Aku memutuskan untuk tidak tidur malam itu. Alarm hp pecahku berbunyi keras sekali.Wah sudah jam 3 aja Aku ketiduran lagi. Segera bangun dan bergegas pesan taxi. Jam 4 aku sudah ada di tol lingkar luar menuju ke bandara. Sesampainya di bandara aku segera check in dan deg deg an menunggu penerbangan ke Himalaya ini.
Pesawat berangkat lebih cepat 10 menit dari jadwal. Pesawat menuju Kuala Lumpur kali ini penuh dengan penumpang yang sebagian besar adalah jamaah umroh yang kaya. Why I called them rich people? Karena dalam penerbangan selama 2 jam menuju Kuala Lumpur, mereka semua memesan seluruh menu makanan, snack dan minuman yang ada. Bahkan para pramugari sendiri bilang bahwa ini kali pertama semua makanan ludes. Hal ini membuat traveler kurang bekal seperti kami menelan ludah. Dengan penerbangan dini hari perut kosong serta pesawat yang penuh dengan semerbak bau makanan… Hmmmm… air ludah menetes dimana mana.
Dua jam kemudian pesawat tiba di KLIA2, aku memiliki waktu sekitar 1,5 jam untuk beristirahat sebelum melanjutkan penerbangan ke atap dunia. Setelah mengisi perut dengan makan di Balai Penerbangan Antarbangsa yang cukup menguras isi kantong dan isi backpack (NO, I didn’t sell my backpack for burgers), aku segera menuju gate yang tertulis di boarding pass. Sesampainya di gate, ternyata antrian masuk ruang tunggu sudah sangaaaaaaatttt panjang. Disini suasana Nepal sudah terasa. Antrian di dominasi oleh para pekerja Nepal dengan setelan keren (jauh lebih keren dari traveler kere seperti aku). Mereka berdandan ala K-Pop, dengan ekspresi harap harap cemas karena mungkin ini adalah perjalanan pulang kampung mereka setelah bekerja di negara orang selama bertahun-tahun.
Amunisi perjalanan ke Nepal (Photo taken at KLIA2)
Pramugara dan Pramugari maskapai apa hayo?
Pesawat ke Nepal ini cukup luas dengan kapasitas kira –kira 246 penumpang dan didominasi penumpang berbahasa Nepal yang tidak kumengerti. Tapi ada pemandangan wajah Indonesia di bangku depanku. I just starred at them, wondering… Are they Indonesians? Or no? Penerbangan selama kurang lebih lima jam aku habiskan dengan membaca buku. Di tengah kemasyukanku membaca buku, mbak mbak di bangku depan memanggil dengan bahasa Indonesia. Surprise!!!! These familiar good looking couple is Indonesian!!! How excited I was! Sadly, kami memiliki tujuan awal yang berbeda sehingga aku gak bisa numpang hidup ke mereka. HAHAHAHA…
Setelah penerbangan selama kurang lebih 5 jam, akhirnya aku sampai di Tribhuvan International Airport (TIA). Turun dari pesawat, seperti biasa ada bis yang menunggu kita untuk mengantar ke balai kedatangan. Aku kira jarak parkir pesawat dan balai penerbangan jauh, but it only took 15 seconds bus ride. Hm… merasa sangat pemalas. Hehehe. Aku masuk ke area imigrasi, menyerahkan dokumen imigrasi yang sudah aku download dan isi sejak di Jakarta. For information, Nepal merupakan negara dengan salah satu pendapatan utama dari pendakian Himalaya. Sehingga mereka mempermudah proses imigrasi untuk pariwisata ke sebagian besar negara di dunia. Untuk Indonesia sendiri, mereka sudah membuka VOA( Visa On Arrival) dengan biaya masuk untuk 15 hari sebesar US$ 25. Formulir VOA dan informasi lainnya bisa di download di website imigrasi mereka disini .
Di gerbang imigrasi ini, aku sudah tidak bertemu dengan Indonesian couple that I met on the airplane. Karena mungkin mereka masih mengisi formulir VOA, sedang aku langsung ke immigration counternya. Setelah lolos dari imigrasi dan mendapatkan visa, aku langsung keluar dari area kedatangan dan menukar dolar US yang aku bawa dari Indonesia dengan Nepali Rupee (NRS 1= sekitar Rp.100). Di bandara, aku hanya menukar US$ 25 karena rate disini lebih rendah daripada di Thamel (FYI, Thamel merupakan distrik pariwisata di ibukota Nepal, Kathmandu. Di dominasi oleh toko outdoor produksi Nepal, restoran, dan bar bergaya internasional untuk menarik para wisatawan). Setelah menukarkan US$25 ku dengan NRS 2450, aku mencari SIM card untuk mengabari orang rumah bahwa anaknya baik baik saja. Setelah membeli SIM card seharga NRS 200 (+_ Rp. 21 ribu), aku mencari taxi untuk membawaku ke Thamel, pusat pariwisata di Kathmandu Valley. Aku dengan berbaik sangkanya menuju ke Tourism Information Centre (Free) untuk menanyakan beberapa info. Tanpa disangka ternyata orang disini juga menawarkan jasa calo taxi dan merekomendasikan hotel untuk aku,. Karena harga taxi yg ditawarkan normal (NRS 400 untuk jarak tempuh +_7km dari bandara ke Thamel area), maka aku pun meng-iya-kan saja tawaran ini.Keputusan yang akan aku sesali di kemudian hari.
Perjalanan dari Tribhuvan ke Thamel
Aku diantar ke Holy Lodge di daerah Thamel, Aku meminta kamar dengan rate US$15, and I got it. Tapi ketika aku membayar biaya hotel, aku harus membayar US$18.45 karena mereka bilang ada 10% pajak pelayanan dan 13% pajak pariwisata. What a lose! Jadi kalau kalian mau nginep di Kathmandu mending tanyain langsung apakah biaya yang dibayar sudah termasuk semua pajak ini dan itu.
Sore harinya aku memutuskan untuk berkeliling di Thamel area. Sinar matahari dan sedikit hangat dan udara dingin (mirip di bandung lah) dengan mental traveler Negara tropis dengan oon nya aku hanya memakai kaos panjang. Setelah matahari kembali ke peraduannya, udara mulai menusuk tulang. Dengan menggigil aku memasuki tiap toko outdoor untuk mencari jaket dengan harga murah. Setelah kedinginan selama +_ 1 jam , akhirnya aku mendapatkan jaket idaman dengan harga NRS 2000 (sekitar Rp. 210 ribu) dari harga yang ditawarkan sebelumnya sekitar NRS 4000 (Kamu harus pinter nawar dan ga tau malu untuk mendapatkan harga bagus di semua toko di Thamel, hanya ada sedikit toko yang menggunakan label fix price disini. Lucky me! I shameless for my money. Hahaha). Memakai jaket ini sungguh menyelamatkan jiwaku dari kedinginan.
Perutku mulai keroncongan, lalu aku mencari warung makan, bukan restoran (sekali lagi, aku kere berkepanjangan). Aku menemukan sebuah warung di area parker di belakang deretan toko-toko di daerah Thamel. Surely, I cant recognize any menus in their list. Akhirnya aku memesan Chiken Thali dan Fried Rice (menu aman) serta Milk tea. Sekitar 15 menit kemudian pesananku datang. Ternyata Chiken Thali adalah satu set makanan khas Nepal dengan sayur, kari ayam, sayuran mirip lodeh kentang, kuah dan nasi. Porsi yang sangattt besar untuk porsi orang Indonesia. Milk tea is coming… rasanya sangat beda dari milk tea di Indonesia atau Malaysia, karena disini mereka tidak menggunakan susu sapi (sapi adalah hewan suci di Nepal) tapi menggunakan susu yak (banteng). Hmm… rasanya amis, kuat, kental, aku tidak bisa menggambarkannya, susu ini sangat unik. Setelah mengisi perut, aku melanjutkan perjalanan menyusuri Thamel. Disini aku menemukan street food diatas sepeda, aku menyebutnya Nepali Tacos (roti khas India, dengan telur dadar diatasnya, digulung dengan isi salad kol serta saus tomat) hmm… yummy… Juara makanan hari ini. Hari pertama di Nepal aku tutup dengan Best Nepali Tacos ever dan aku kembali ke Holy sh*t Lodge untuk beristirahat sebelum memulai perjalanan panjang esok hari.
First Chiken Thali and Milk Tea
Too much vegi fried rice